NAMA : MAYA FITRIANA ANISA
KELAS : 3 PA 05
NPM : 19510405
A.Pengertian
Transmisi Budaya
Transmisi
budaya ialah kegiatan pengiriman atau penyebaran pesan dari generasi
yang satu ke generasi yang lain tentang sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
dan sulit diubah.
Budaya merupakan suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. mewariskan
budaya dari generasi yang satu ke generasi yang lain melalui sebuah kegiatan
pengiriman atau penyebaran sebuah kebiasaan/adat istiadat yang sulit untuk
diubah disebut dengan transmisi budaya.
B.Bentuk
Transmisi Budaya
1. Enkulturasi
Enkulturasi adalah Proses
penerusan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya selama
hidup seseorang individu dimulai dari institusi keluarga terutama tokoh ibu.
Enkulturasi mengacu pada
proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur
ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok,
teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru
utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.
2. Akulturasi
Akulturasi adalah suatu
proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing
itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Akulturasi mengacu pada
proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan
langsung dengan kultur lain. Misalnya, bila sekelompok imigran kemudian berdiam
di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi
oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku,
serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur
kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.
3. Sosialisasi
Sosisalisasi adalah
proses pemasyarakatan, yaitu seluruh proses apabila seorang individu dari masa
kanak-kanak sampai dewasa, berkembang, berhubungan, mengenal, dan menyesuaikan
diri dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto,
sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat baru mempelajari
norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi anggota.
C.Pengaruh
Terhadap Perkembangan Psikologi Individu
a. Pengaruh
Enkulturasi terhadap perkembangan psikologi individu
Enkulturasi mempengaruhi
perkembangan psikologi individu melalui proses belajar dan penyesuaian alam
pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan
yang hidup dalam kebudayaannya.
b. Pengaruh
Akulturasi terhadap perkembangan psikologi individu
Akulturasi mempengaruhi
perkembangan psikologi individu melalui suatu proses sosial yang timbul
manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsur dari suatu kebudayaan asing. Akulturasi terjadi karena sekelompok orang
asing yang berangsur-angsur mengikuti cara atau peraturan di dalam lingkup
orang Indonesia.
c. Pengaruh
Sosialisasi terhadap perkembangan psikologi individu
Beberapa teori
perkembangan manusia telah mengungkapkan bahwa manusia telah tumbuh dan
berkembang dari masa bayi kemasa dewasa melalui beberapa langkah jenjang.
Kehidupan anak dalam menelusuri perkembangnya itu pada dasarnya merupakan
kemampuan mereka berinteraksi dengan lingkungan. Pada proses integrasi dan
interaksi ini faktor intelektual dan emosional mengambil peranan penting.
Proses tersebut merupakan proses sosialisasi yang mendudukkan anak-anak sebagai
insan yang yang secara aktif melakukan proses sosialisasi.
D.Awal
Perkembangan dan Pola Kelekatan (attachment) pada Ibu dan Pengasuh
Transmisi budaya dapat
terjadi sesuai dengan awal pengembangan dan pengasuhan yang terjadi pada
masing-masing individu. Dimana proses seperti Enkulturasi ataupun Akulturasi
yang mempengaruhi perkembangan psikologis individu tergantung bagaimana
individu mendapat pengasuhan dan bagaimana lingkungan yang diterimanya.
Individu tidak mampu berdiri sendiri, melainkan hidup dalam hubungan antar
sesama individu. Dengan demikian dalam hidup dan kehidupannya manusia selalu
mengadakan kontak dengan manusia lain. Karena itu manusia sebagai individu juga
merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat.
Hubungan anak dengan
orang tua merupakan sumber emosional dan kognitif bagi anak. Hubungan tersebut
memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan
sosial. Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam
hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke
dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan
(Sutcliffe,2002). Klaus dan Kennel (dalam Bee, 1981) menyatakan bahwa
masa kritis seorang bayi adalah 12 jam pertama setelah dilahirkan. Penelitian
yang dilakukan menunjukkan bahwa kontak yang dilakukan ibu pada satu jam
pertama setelah melahirkan selama 30 menit akan memberikan pengalaman mendasar
pada anak.
Hal senada juga
dikemukakan oleh Sosa (dalam Hadiyanti,1992) bahwa ibu yang segera didekatkan
pada bayi seusai melahirkan akan menunjukkan perhatian 50% lebih besar
dibandingkan ibu-ibu yang tidak melakukannya. Menurut Ainsworth (dalam Belsky,
1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan
pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu
dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau
menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak.
Kelekatan adalah
suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu
individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, Hubungan yang
dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur
lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar anak telah membentuk
kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan
bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain
(Sutcliffe,2002). Kelekatan bukanlah ikatan yang terjadi secara alamiah.
Ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk kelekatan
tersebut. Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan
mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan
orang lain yang akan akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan
lingkungan (Bowlby dalam Pramana 1996). Anak yang merasa yakin terhadap
penerimaan lingkungan akan mengembangkan kelekatan yang aman dengan
figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak
saja pada ibu juga pada lingkungan. Hal ini akan membawa pengaruh positif
dalam proses perkembangannya.
Beberapa penelitian
membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan aman akan menunjukkan
kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak (Both dkk dalam Parker,
Rubin, Price dan DeRosier, 1995) serta lebih populer dikalangan teman
sebayanya di prasekolah (La Freniere dan Sroufe dalam Parker dkk,
1995). Anak-anak ini juga lebih mampu membina hubungan persahabatan yang
intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi
(Parke dan Waters dalam Parker dkk,1995).
Sementara itu
Grosman dan Grosman (dalam Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kulitas
kelekatan aman lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus
asa. Sebaliknya pengasuh yang tidak menyenangkan akan membuat anak
tidak percaya dan mengembangkan kelekatan yang tidak aman (insecure
attachment). Kelekatan yang tidak aman dapat membuat anak mengalami
berbagai permasalahan yang disebut dengan gangguan kelekatan
(attachment disorder). Telah disebutkan di atas bahwa gangguan kelekatan
terjadi karena anak gagal membentuk kelekatan yang aman dengan figur lekatnya.
Hal ini akan membuat anak mengalami masalah dalam hubungan social.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami gangguan
kelekatan memiliki orang tua yang juga mengalami masalah yang sama dimasa
kecilnya (Sroufe dalam Cicchetty dan Linch, 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar