Oleh Abdul Mutaqin
Pada dasarnya setiap manusia ingin dihargai. Dihargai kehadirannya, statusnya, kelebihan dan kekurangannya, apatah lagi dihargai atas kebaikan dan jerih payahnya. Ingin dihargai bukanlah hal yang keliru. Lebih mulia lagi apabila setiap kita selalu memiliki energi untuk menghargai orang lain. Siapapun orang yang selalu meraih penghargaan adalah istimewa. Namun setiap orang adalah istimewa, yaitu mereka yang selalu menyimpan kemurahan hati dan tidak pernah kehabisan energi untuk selalu menghargai orang lain.
Tanyakanlah diri Anda, bagaimana rasanya dihargai orang lain? Senang bukan? Tetapi tanyakanlah sekali lagi hati Anda, mana yang lebih membahagiakan, mendapat penghargaan atau selalu dapat menghargai dan membahagiakan banyak orang?
Menghargai dan membahagiakan orang lain tidak mesti dengan bahasa materi. Karena boleh jadi, bahasa materi bisa disalahpahami sebagai sebuah ”penghinaan”. Jangan pernah berpikir setiap orang senang dihargai dengan uang, karena bisa jadi uang mereka lebih banyak dari Anda. Bahkan di dunia ini masih tersisa sedikit orang ”miskin” yang merasa terhina bukan main karena pemberian uang atas kebaikan yang tulus dilakukannya pada Anda. Namun terkadang, bahasa materi berupa simbol yang Anda berikan mampu mengantarkan orang sampai pada puncak kebahagiaan yang sulit dilupakan. Seperti bunga sebagai apresisasi atas cinta dan ketulusan.
Ucapan terima kasih adalah hal sederhana yang menimbulkan efek kejiwaan rasa senang atau bahagia. Namun tidak semua mau melakukannya saat dibutuhkan. Padahal ia bukanlah kalimat yang rumit untuk diucapkan. Setiap ucap terima kasih yang Anda lontarkan Anda tengah memvibrasi kehangatan, penghargaan serta pengakuan yang dibutuhkan banyak orang. Seringkali, seuntai ucapan terima kasih, mampu mengikat jiwa seseorang untuk selalu berpikir positif tentang Anda.
Banyak orang enggan mengucapkan terima kasih oleh karena berpikir terlalu mekanis.
“Ah, ga usahlah berterima kasih segala. Itu kan memang sudah tugas dia. Dia digaji untuk melakukan hal itu”.
”Jangan ingin selalu nampak berbudi. Bayar angkot aja ngucapin terima kasih. Kita bayar tahu. Engga gratisan”.
”Bila ngucapin terima kasih dengan bawahan, di matanya Anda akan jatuh”.
Berucap demikian sama halnya mencharge diri Anda dengan energi negatif. Maka ucapan itu tentu akan didengar dan dirasakan sebagai energi negatif pula bagi objek ketiga. Maka orang lain akan berpikir sebagaimana negatifnya pikiran semacam itu. Jika Anda berpikir demikian, orang lain bisa jadi akan merasa bahwa Anda tidak tahu berterima kasih.
Pandai mengucap terima kasih tidak membutuhkan sekolah sampai sarjana. Hampir banyak sarjana berdasi, tidak sanggup mengucap terima kasih hanya karena terlalu berpikir mekanis. Belum lagi suasana kota, di mana kebersahajaan harus dipancing dengan uang dan kemewahan. Sementara alam pedesaan menjadi benar-benar sekolah alam sejati bagi manusia untuk pandai mengucapkan kata itu meskipun mereka tidak pernah seumur hidup memakai toga.
Namun bukan berarti orang kota tidak pandai berterima kasih. Pada dasarnya hanyalah soal watak dan kesadaran bahwa manusia saling membutuhkan, meskipun hanya sekedar ucapan terima kasih. Bahkan kerendahan hati untuk biasa mengucapkan kata itu, dapat menguasai medan hidup yang keras sekalipun.
Bila Anda sopir angkot, apa yang Anda rasakan apabila setiap penumpang mengucapkan kata terima kasih setelah membayar ongkosnya?
Bila Anda penjual koran, bagaimana suasana hati Anda setelah pembeli mengucapkan terima kasih saat menerima kembalian sisa belanjanya?
Bila Anda tukang semir sepatu, apakah akan merindukan kembali saat pelanggan Anda mengucapkan terima kasih setelah sepatunya berkilau?
Jika Anda seorang karyawan mendengar bos Anda mengucapkan terima kasih dan memuji hasil kerja Anda, harapan apalagi yang tumbuh di hati Anda?
Jika Anda seorang dokter, lihatlah kelegaan seorang pasien saat Anda mengucapkan terima kasih atas kunjungannya.
Jika Anda seorang siswa, bagaimana hidmatnya Anda saat guru Anda bertutur terima kasih dan memandang penuh cinta.
Dalam bahasa agama, orang yang pandai berterima kasih sesungguhnya bukan sekedar telah menggembirakan orang lain. Tetapi tengah memupuk citra positif untuk dirinya sendiri. Ia seperti tengah menanam sejumput kebajikan untuk dituainya lebat di kemudian hari. ”Wa man yasykur fainna maa yasykuru linafsih”, siapa yang pandai berterima kasih (syukur) sesungguhnya (kebaikan) berterima kasih itu (akan kembali) untuk dirinya sendiri. ”Lain syakartum laaziidannakum”, jika kamu pandai berterima kasih (syukur) maka pasti Aku (Allah) akan menambah kebajikan untukmu.
Kanjeng Nabi mulia, Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam tidak luput pula perhatiannya dalam masalah ini. Satu saat, belua pernah memberi garis bawah soal terima kasih dalam sebuah riwayat:
”Barangsiapa tidak pandai berterima kasih pada sesama, sama halnya ia tidak tahu berterima kasih pada Allah”. (HR. Baihaqi).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar